dikutip dari http://enewsletterdisdik.wordpress.com
Hari Anak Nasional diperingati setiap tahun. Namun masih banyak anak-anak yang belum mendapat perhatian serius pihak terkait. Anak jalanan, misalnya. Tidak semua anak jalanan nakal. Sebagian dari mereka bahkan terjun ke jalan, untuk berjuang mencari biayai sekolah. Anak jalanan dari tahun ke tahun jumlahnya terus bertambah.
Dinas Sosial Provinsi Sumbar mencatat jumlahnya mencapai 7.086. Mereka biasa hidup di pinggir jalan, dan mengumpul rezeki di antara barisan kendaraan di persimpangan lampu merah. Mereka juga ada di sekitar pusat perbelanjaan dan pusat keramaian kota lainnya. Kondisi ini membuat mereka rawan dieksploitasi, dipekerjakan pihak-pihak yang ingin meraup keuntungan. Dari pantauan Padang Ekspres di sebuah pusat perbelanjaan di pusat Kota Padang, Selasa (22/7), mereka tampak di antara keramaian pengunjung. Ada yang menadahkan tangan, berjualan makanan, minuman, dan mengamen.
Sebagian dari mereka mengaku, di samping sekadar mencari nafkah untuk belanja sehari-hari, mereka ada yang dipekerjakan menjadi tulang punggung keluarga dan preman. Akan tetapi, ada juga yang benar-benar berjuang mencari biaya untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena orangtua mereka hidup di bawah garis kemiskinan.
Seperti Andi, (8) salah seorang siswa SD di Kota Padang. Pulang dari sekolah, Andi tidak belajar, dia malah bercanda ria dengan teman-teman sekolahnya, tetapi kembali ke jalanan mencari uang. Mengamen di persimpangan lampu merah Jalan Sawahan.
Andi mengaku kedua orangtuanya tidak mampu membiayai sekolah dan membeli perlengkapan sekolahnya karena sehari-hari hanya berprofesi sebagai pedagang asongan di Pasar Raya Padang. ”Untuk itu, saya harus berusaha sendiri memenuhi kebutuhan sekolah,” ungkap Andi yang sehari-hari bisa mengumpulkan uang Rp20 ribu hingga Rp30 ribu dari hasil mengamen.
Berbeda dengan, Andi. Teman sebayanya Yanto, juga mencari hidup di jalanan. Namun dia lebih memilih berjualan kantong kresek ketimbang menjadi pengamen. Dia berpikir, dengan cara ini bisa memperoleh uang lebih cepat. Dia bercerita, setiap harinya dia mampu memperoleh penghasilan Rp20 ribu, dari hasil berjualan kantong kresek.
Satu kantongnya dijual seharga Rp500. ”Hasilnya, disimpan untuk membayar biaya sekolah dan menambah biaya dapur,” kata Yanto yang masih duduk di kelas V SD. Pekerjaan ini terpaksa dilakukannya, karena Ayahnya tidak mempunyai pekerjaan tetap, dan tidak sanggup memikul beban keluarga. Membiayai tiga orang anaknya. ”Di keluarga, baru saya yang satu-satunya bersekolah, adik-adik masih kecil,” ucapnya.
Menurutnya, masih banyak lagi anak-anak yang mengalami hal yang sama sepertinya. Pekerjaan ini mereka lakoni, tak lain hanya ingin terus bertahan agar pendidikan mereka tidak terputus. Ironis sekali, meskipun anak merupakan investasi bagi pembangunan di masa mendatang, tetapi kehadiran dan keberadaan mereka di jalanan belum mengetuk nurani pihak terkait untuk memperhatikan mereka.
Selama ini, mereka sering diusir dari jalanan oleh pihak terkait dengan alasan penertiban. Tetapi setelah itu terpaksa kembali ke jalan, karena tidak ada upaya lain bagi mereka untuk bertahan hidup. ”Kami harus sekolah dan makan. Kalau ditertibkan lalu dilepas, dari mana kami dapat biaya sekolah,” sebut Andi. Nah kalau begitu, anak-anak jalanan seperti mereka tanggung jawab siapa?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar